Selasa, 27 November 2012

Teknik Audio Visual dalam Film

Pertemuan ke-10
Rabu, 21 November 2012
Dosen : Nurman Hakim


Media audiovisual adalah media yang penyampaian pesannya dapat diterima oleh indera pendengaran dan indera pengelihatan, akan tetapi gambar yang dihasilkannya adalah gambar diam atau memiliki unsur gerak.
Audio visual dibedakan menjadi dua bentuk yaitu naratif dan non naratif.

      1.     Bentuk Naratif
Contoh bentuk naratif: film layar lebar, FTV, sinetron, iklan bercerita
Bentuk naratif merupakan sebuah bentuk penceritaan yang peristiwanya memiliki hubungan sebab akibat yang jelas dan terjadi dalam ruang serta waktu yang jelas pula. Dikarenakan penceritaan dalam film didasari oleh bidang sastra dan drama.
Bagaimanapun juga selain adanya aspek ruang, waktu, peristiwa dan manusia, naratif juga tidak hanya melibatkan aspek cerita (story), akan tetapi nantinya penceritaan itu akan terbagi lagi menjadi plot.

Selain itu, naratif di dalam film juga memiliki struktur yang tentu saja berbeda dengan sastra (roman) maupun drama (teater), walaupun ada kedekatan, namun struktur di dalam film lebih banyak menyesuaikan dengan durasi maksimal yang umum yang ada atau dikenal oleh masyarakat, yaitu antara beberapa menit hingga 3 jam.  

1.     Bentuk Non-Naratif.
Contoh bentuk non naratif: iklan, berita, Tv program/kuis reality show,dll.
Bentuk ini bukannya tidak bercerita, hanya saja cara menceritakannya berbeda dengan naratif yang seperti orang mendongeng, artinya aspek story, plot, ruang, waktu, peristiwa dan manusia tetap ada hanya saja cara menyampaikannya berbeda. Oleh karena itu, cara bercerita non-naratif dalam buku David Bordwell ini sangat beragam dan setidaknya ada empat cara bercerita dalam bentuk ini :

a.    Categorical
Film dibuat kategori agar dapat dikumpulkan per sub-temanya. Bordwell mengibaratkan cara ini seperti memasuki supermarket dimana setiap  barang akan dikategorikan menurut jenisnya dan bukan merknya. Banyak film dokumenter yang masuk dalam wilayah ini, terutama dokumenter yang umum ditayangkan seperti di televisi publik ataupun televisi berbayar.

b.    Rethorical
Film  ini  memiliki  persuasi  yang  kuat  untuk  mempengaruhi  penonton sehingga kesan propaganda melekat erat dalam bentuk ini.  Tipe film yang banyak menggunakan metode ini adalah film iklan yang banyak ditayangkan di televisi dan dokumenter propaganda,
c.    Abstract
Penceritaan film ini mengikuti sebuah usaha untuk mengeluarkan suatu ekpresi paling dalam dari pembuatnya.  Umumnya sulit untuk dicerna oleh penonton, namun karena didasari oleh kebebasan berekspresi sehingga sering permasalahan penonton tidak lagi menjadi yang utama.  Film eksperimental, di tahun 1970-an dikenal dengan expanded cinema atau sekarang ini banyak seniman yang lebih mengenalnya sebagai  video art adalah contoh dari film dengan bentuk abstrak, seperti film-film dari Stan Brakhage, Tan Jun Paik, Norman McLaren, Hans Richter, Walter Ruttman, Luis Bunnuel dsb. Film dalam sub-bentuk ini pada masa sekarang banyak dipakai pada video musik.
d.    Associational
Film-film  dalam  bentuk ini sekilas mirip dengan bentuk abstrak, namun sesungguhnya sangatlah berbeda.  Film bentuk ini biasanya menggunakan gambar-gambar yang tidak memiliki hubungan ruang, waktu ataupun peristiwa, namun memiliki tujuan yang sama untuk mengarah pada satu tema atau sub-tema penceritaan. Dokumenter dengan jenis  association picture story menggunakan bentuk ini, seperti  karya Man With A Movie Camera (Dziga Vertov), Baraka (Ron Fricke) serta trilogi film Geodfrey Regio : Powwaqqatsi, Koyanisqatsi dan Naqoyqatsi.


Bioskop digital
Kini produsen film dunia lebih banyak mengemas filmnya dengan format digital, bukan lagi format seluloid. Sehingga tren penggunaan alat pemutar film (proyektor) format digital di bioskop tak bisa dihindarkan termasuk di Indonesia. 
Dampaknya, banyak pengusaha bioskop melakukan konversi besar-besaran dari proyektor seluloid ke digital.
Grup Blitz contohnya yang sudah sejak berdirinya menyediakan fasilitas ini, sementara Grup 21 konon kabarnya sudah memesan 200 alat yang disebut DCP (digital cinema package), dan sekitar separuhnya sudah dipasang.
format baru digital memberikan sisi positif dalam hal efisiensi distribusi. Dengan format digital, maka mengimpor film lebih praktis karena importir hanya mengunduh film dengan akses internet, selain itu biaya copy film sudah tak ada lagi dengan rantai yang lebih pendek.

"banyak orang yang masih beranggapan bahwa  kualitas digital proyektor masih di bawah seluloid”. Selain itu Celakanya, bagi pengusaha bioskop skala kecil, peralihan ini sangat memberatkan karena butuh investasi yang sangat besar.
Produk proyektor digital selama ini diimpor dari AS dengan merek Barco dan Belgia dengan harga Rp 800 juta hingga Rp 1 miliar.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar