Rabu, 21 November 2012
Dosen : Nurman Hakim
Media
audiovisual adalah media yang penyampaian pesannya dapat diterima oleh indera
pendengaran dan indera pengelihatan, akan tetapi gambar yang dihasilkannya
adalah gambar diam atau memiliki unsur gerak.
Audio visual dibedakan menjadi dua bentuk yaitu naratif dan
non naratif.
1.
Bentuk
Naratif
Contoh bentuk naratif: film layar lebar, FTV, sinetron, iklan
bercerita
Bentuk naratif merupakan sebuah bentuk penceritaan yang
peristiwanya memiliki hubungan sebab akibat yang jelas dan terjadi dalam ruang
serta waktu yang jelas pula. Dikarenakan penceritaan dalam film didasari oleh
bidang sastra dan drama.
Bagaimanapun juga selain adanya aspek ruang, waktu, peristiwa dan
manusia, naratif juga tidak hanya melibatkan aspek cerita (story), akan tetapi nantinya penceritaan itu akan terbagi lagi menjadi plot.
Selain itu, naratif di dalam film juga memiliki struktur yang
tentu saja berbeda dengan sastra (roman) maupun drama (teater), walaupun ada
kedekatan, namun struktur di dalam film lebih banyak menyesuaikan dengan durasi
maksimal yang umum yang ada atau dikenal oleh masyarakat, yaitu antara beberapa
menit hingga 3 jam.
1.
Bentuk
Non-Naratif.
Contoh bentuk non naratif: iklan, berita, Tv program/kuis reality
show,dll.
Bentuk ini bukannya tidak bercerita, hanya saja cara
menceritakannya berbeda dengan naratif yang seperti orang mendongeng, artinya
aspek story, plot, ruang, waktu, peristiwa dan manusia tetap ada
hanya saja cara menyampaikannya berbeda. Oleh karena itu, cara bercerita
non-naratif dalam buku David Bordwell ini sangat beragam dan setidaknya ada
empat cara bercerita dalam bentuk ini :
a.
Categorical
Film dibuat kategori agar dapat dikumpulkan per
sub-temanya. Bordwell mengibaratkan cara ini seperti
memasuki supermarket dimana setiap barang akan dikategorikan menurut
jenisnya dan bukan merknya. Banyak film dokumenter yang masuk dalam wilayah
ini, terutama dokumenter yang umum ditayangkan seperti di televisi publik
ataupun televisi berbayar.
b.
Rethorical
Film ini memiliki persuasi yang kuat
untuk mempengaruhi penonton sehingga kesan propaganda melekat
erat dalam bentuk ini. Tipe film yang banyak menggunakan metode ini
adalah film iklan yang banyak ditayangkan di televisi dan dokumenter
propaganda,
c.
Abstract
Penceritaan film ini mengikuti sebuah usaha untuk
mengeluarkan suatu ekpresi paling dalam dari pembuatnya.
Umumnya sulit untuk dicerna oleh penonton, namun karena didasari oleh kebebasan
berekspresi sehingga sering permasalahan penonton tidak lagi menjadi yang
utama. Film eksperimental, di tahun 1970-an dikenal dengan expanded cinema atau sekarang ini banyak seniman yang lebih mengenalnya sebagai
video
art adalah contoh dari film dengan bentuk abstrak, seperti film-film
dari Stan Brakhage, Tan Jun Paik, Norman McLaren, Hans Richter, Walter Ruttman,
Luis Bunnuel dsb. Film dalam sub-bentuk ini pada masa sekarang banyak dipakai
pada video musik.
d.
Associational
Film-film dalam bentuk ini sekilas mirip dengan bentuk
abstrak, namun sesungguhnya sangatlah berbeda. Film
bentuk ini biasanya menggunakan gambar-gambar yang tidak memiliki hubungan
ruang, waktu ataupun peristiwa, namun memiliki tujuan yang sama untuk mengarah
pada satu tema atau sub-tema penceritaan. Dokumenter dengan jenis association picture story menggunakan bentuk ini, seperti karya Man With A Movie Camera (Dziga Vertov), Baraka (Ron Fricke) serta trilogi film Geodfrey Regio : Powwaqqatsi, Koyanisqatsi dan Naqoyqatsi.
Bioskop digital
Kini produsen film dunia lebih banyak mengemas filmnya dengan
format digital, bukan lagi format seluloid. Sehingga tren penggunaan alat
pemutar film (proyektor) format digital di bioskop tak bisa dihindarkan
termasuk di Indonesia.
Dampaknya, banyak pengusaha bioskop melakukan konversi
besar-besaran dari proyektor seluloid ke digital.
Grup Blitz contohnya yang sudah sejak berdirinya
menyediakan fasilitas ini, sementara Grup 21 konon kabarnya sudah memesan 200
alat yang disebut DCP (digital cinema package), dan sekitar separuhnya sudah
dipasang.
format baru digital memberikan sisi positif dalam hal
efisiensi distribusi. Dengan format digital, maka mengimpor film lebih praktis
karena importir hanya mengunduh film dengan akses internet, selain itu biaya
copy film sudah tak ada lagi dengan rantai yang lebih pendek.
"banyak orang yang masih beranggapan bahwa kualitas digital proyektor masih di bawah seluloid”. Selain itu Celakanya, bagi pengusaha bioskop skala kecil, peralihan ini sangat memberatkan karena butuh investasi yang sangat besar.
Produk proyektor digital selama ini diimpor dari AS dengan merek Barco dan Belgia dengan harga Rp 800 juta hingga Rp 1 miliar.
"banyak orang yang masih beranggapan bahwa kualitas digital proyektor masih di bawah seluloid”. Selain itu Celakanya, bagi pengusaha bioskop skala kecil, peralihan ini sangat memberatkan karena butuh investasi yang sangat besar.
Produk proyektor digital selama ini diimpor dari AS dengan merek Barco dan Belgia dengan harga Rp 800 juta hingga Rp 1 miliar.