Rabu, 28 November 2012
Dosen : Paulus Widianto
Minggu
ini, pembahasan perkuliahan kapita selekta terkait dengan revisi Undang-Undang
Penyiaran Tahun 2002. Paulus Widianto selaku pakar penyiaran di Indonesia
membahas mengenai pro kontra serta alasan terkait dengan dilakukannya revisi UU
Penyiaran mengingat beliau juga merupakan salah satu tim pendamping yang terlibat
dalam revisi UU tersebut.
Dalam
hal ini, ada 4 poin utama yang menjadi alasan dilakukannya revisi UU Penyiaran.
Alasan pertama terkait dengan perkembangan zaman, kedua terkait dengan
perkembangan teknologi, ketiga terkait dengan penegasan kembali agar tidak
menjadi multitafsir dan terakhir adalah pemberian kewenangan baru. Namun,
revisi itu banyak mengundang pro dan kontra di kalangan pemerintahan dan
masyarakat.
Seiring
dengan adanya perkembangan zaman, maka konten penyiaran baik televisi maupun
radio juga mengalami perubahan. Hal ini mendorong adanya revisi pada UU
Penyiaran mengingat kedua media massa tersebut merupakan media yang paling
banyak dan hampir setiap hari dikonsumsi oleh masyrakat. UU yang direvisi ini
diharapkan dapat memberi dampak langsung yang positif terhadap masyarakat
terkait dengan konten atau isi yang disajikan oleh media penyiaran.
Berbicara
mengenai perkembangan zaman, maka kita juga berbicara tentang perkembangan
teknologi. Dewasa ini, digitalisasi penyiaran bukan merupakan hal yang asing
lagi. Berbagai kelebihan ditawarkan oleh
teknologi ini, mulai dari suara yang jernih, gambar yang bening, sampai pada
tersedianya banyak kanal untuk menyalurkan siaran televisi. Namun demikian,
sejumlah permasalahan pun muncul. Mulai dari yang sederhana berupa pengaturan
kanal yang jumlahnya jauh lebih besar, sampai yang paling rumit yakni mengatur
penyedia jaringan (network provider) dan penyedia
konten siaran (content provider) yang akan turut
bermain meramaikan dunia penyiaran tanah air. Tidak kalah pelik, adalah
memikirkan bagaimana nasib para penyelenggara siaran televisi komunitas yang
mungkin akan terseok-seok untuk ikut bermigrasi ke TV digital. Padahal
kehadiran televisi komunitas dipandang penting untuk menjamin demokratisasi
penyiaran, khususnya dari sisi keberagaman isi (diversity of content).
Semua ini masih belum diatur oleh UU Penyiaran No. 32 tahun 2002.
Namun pada perkuliahan ini juga dibahas mengenai pro dan
kontra pada masa revisi. Salah satu anggota Masyarakat Komunikasi dan Informasi
(MAKSI), Chelsea Chan menegaskan, dirinya tidak setuju terkait rencana revisi
UU Penyiaran. Menurutnya, UU ini banyak menampung inspirasi publik dan mengadopsi
berbagai aturan-aturan yang dibuat bangsa luar. Sebaliknya, yang sangat penting
direvisi atau dirubah adalah Peraturan Pemerintah (PP) aturan dari turunan UU
Penyiaran. Pasalnya, isi dari peraturan penyiaran yang dibuat Kementrian
Kominfo dianggap paling banyak bermasalah. Ade
Armando, pengamat media dan juga anggota MAKSI, mengutarakan pendapat senada
dengan Chelsea. Menurutnya, UU Penyiaran tidak bermasalah. Justru, yang
bermasalah itu adalah PP-nya. Rencana revisi UU Penyiaran ini dianggap memiliki
tujuan tersembunyi atau hanya ingin memenuhi kepentingan tertentu.
Sekalipun dilanda pro dan kontra, namun revisi UU Penyiaran
ini pun tetap berjalan. Tentu diharapkan revisi UU Penyiaran dapat membantu
menjelaskan dua isu strategis ini. Semangat untuk tetap mengusung demokratisasi
penyiaran harus tetap ada dalam proses revisi yang diprediksi sarat akan
tarik-menarik kepentingan. Bagaimanapun dunia penyiaran tetap akan berpengaruh
besar pada kehidupan masyarakat banyak karena ranah publik yang digunakannya.
Oleh karenanya, masyarakat sebagai publik diharapkan mengawal semua
perkembangan ini sehingga proses revisi tetap memperhatikan kepentingan publik
yang luas. Masyarakat tidak perlu kaget apabila UU Penyiaran versi revisi
ini akhirnya disahkan karena luput dari pencermatan.
Referensi : www.kpi.go.id
dan fisip.uajy.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar