Selasa, 04 Desember 2012

Revisi Undang-Undang Penyiaran Tahun 2002

Pertemuan ke-11
Rabu, 28 November 2012
Dosen : Paulus Widianto




Minggu ini, pembahasan perkuliahan kapita selekta terkait dengan revisi Undang-Undang Penyiaran Tahun 2002. Paulus Widianto selaku pakar penyiaran di Indonesia membahas mengenai pro kontra serta alasan terkait dengan dilakukannya revisi UU Penyiaran mengingat beliau juga merupakan salah satu tim pendamping yang terlibat dalam revisi UU tersebut.
Dalam hal ini, ada 4 poin utama yang menjadi alasan dilakukannya revisi UU Penyiaran. Alasan pertama terkait dengan perkembangan zaman, kedua terkait dengan perkembangan teknologi, ketiga terkait dengan penegasan kembali agar tidak menjadi multitafsir dan terakhir adalah pemberian kewenangan baru. Namun, revisi itu banyak mengundang pro dan kontra di kalangan pemerintahan dan masyarakat.
Seiring dengan adanya perkembangan zaman, maka konten penyiaran baik televisi maupun radio juga mengalami perubahan. Hal ini mendorong adanya revisi pada UU Penyiaran mengingat kedua media massa tersebut merupakan media yang paling banyak dan hampir setiap hari dikonsumsi oleh masyrakat. UU yang direvisi ini diharapkan dapat memberi dampak langsung yang positif terhadap masyarakat terkait dengan konten atau isi yang disajikan oleh media penyiaran.
Berbicara mengenai perkembangan zaman, maka kita juga berbicara tentang perkembangan teknologi. Dewasa ini, digitalisasi penyiaran bukan merupakan hal yang asing lagi. Berbagai kelebihan ditawarkan oleh teknologi ini, mulai dari suara yang jernih, gambar yang bening, sampai pada tersedianya banyak kanal untuk menyalurkan siaran televisi. Namun demikian, sejumlah permasalahan pun muncul. Mulai dari yang sederhana berupa pengaturan kanal yang jumlahnya jauh lebih besar, sampai yang paling rumit yakni mengatur penyedia jaringan (network provider) dan penyedia konten siaran (content provider) yang akan turut bermain meramaikan dunia penyiaran tanah air. Tidak kalah pelik, adalah memikirkan bagaimana nasib para penyelenggara siaran televisi komunitas yang mungkin akan terseok-seok untuk ikut bermigrasi ke TV digital. Padahal kehadiran televisi komunitas dipandang penting untuk menjamin demokratisasi penyiaran, khususnya dari sisi keberagaman isi (diversity of content). Semua ini masih belum diatur oleh UU Penyiaran No. 32 tahun 2002.
Namun pada perkuliahan ini juga dibahas mengenai pro dan kontra pada masa revisi. Salah satu anggota Masyarakat Komunikasi dan Informasi (MAKSI), Chelsea Chan menegaskan, dirinya tidak setuju terkait rencana revisi UU Penyiaran. Menurutnya, UU ini banyak menampung inspirasi publik dan mengadopsi berbagai aturan-aturan yang dibuat bangsa luar. Sebaliknya, yang sangat penting direvisi atau dirubah adalah Peraturan Pemerintah (PP) aturan dari turunan UU Penyiaran. Pasalnya, isi dari peraturan penyiaran yang dibuat Kementrian Kominfo dianggap paling banyak bermasalah. Ade Armando, pengamat media dan juga anggota MAKSI, mengutarakan pendapat senada dengan Chelsea. Menurutnya, UU Penyiaran tidak bermasalah. Justru, yang bermasalah itu adalah PP-nya. Rencana revisi UU Penyiaran ini dianggap memiliki tujuan tersembunyi atau hanya ingin memenuhi kepentingan tertentu.
Sekalipun dilanda pro dan kontra, namun revisi UU Penyiaran ini pun tetap berjalan. Tentu diharapkan revisi UU Penyiaran dapat membantu menjelaskan dua isu strategis ini. Semangat untuk tetap mengusung demokratisasi penyiaran harus tetap ada dalam proses revisi yang diprediksi sarat akan tarik-menarik kepentingan. Bagaimanapun dunia penyiaran tetap akan berpengaruh besar pada kehidupan masyarakat banyak karena ranah publik yang digunakannya. Oleh karenanya, masyarakat sebagai publik diharapkan mengawal semua perkembangan ini sehingga proses revisi tetap memperhatikan kepentingan publik yang luas. Masyarakat tidak perlu kaget apabila UU Penyiaran versi  revisi ini akhirnya  disahkan karena luput dari pencermatan.
Referensi : www.kpi.go.id dan fisip.uajy.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar